BANDAPOS | Pakaian adat Aceh bisa dijadikan sebagai simbol bagaimana karakter masyarakat, budaya, prinsip dan persatuannya. Sehingga Aceh dikenal sebagai Serambi Mekkah yaitu salah satu daerah yang tidak bisa dijajah oleh Belanda.
Khas dari pakaian adat Aceh yaitu perpaduan budaya Melayu dan Islam. Pakaian adat dalam setiap daerah umumnya memiliki filosofi atau cerita di balik setiap potong jenis pakaian tersebut. Pakaian adat Aceh mememiliki makna yang menggambarkan identitas, status sosial di daerah tertentu dan letak geografisnya. Pakaian adat biasanya digunakan pada hari-hari khusus seperti acara perkawinan, penyambutan, upacara adat dan pertunjukkan adat tertentu.
Kebudayaan Aceh memiliki kekayaan yang kuat dan mangakar pada nilai-nilai Islam diantaranya yang dikenal satu wujud budaya tersebut tercermin dalam pakaian adat Aceh yang tidak hanya berfungsi sebagai busana tradisional, tetapi juga simbol identitas, persatuan, dan keteguhan prinsip masyarakat Aceh.
Sebagai daerah pertama masuknya Islam di Indonesia dan pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara, pengaruh Islam sangat kental dalam adat istiadat Aceh, termasuk dalam busana tradisional yang sarat makna filosofis.
Pakaian adat Aceh dikenal dengan nama Ulee Balang. Dahulu, busana ini hanya dikenakan oleh kalangan kesultanan, namun kini digunakan secara luas dalam berbagai acara adat, pernikahan, dan perayaan hari besar. Ulee Balang terbagi menjadi dua, yaitu Linto Baro untuk laki-laki dan Daro Baro untuk perempuan, dengan ciri utama perpaduan budaya Melayu dan Islam serta dominasi warna hitam dan emas sebagai lambang kebesaran dan kewibawaan.
Busana Linto Baro terdiri dari Baju Meukeusah, atasan hitam berhias sulaman benang emas bermotif flora khas Aceh seperti Pucok Reubong yang melambangkan kesuburan dan kebersamaan. Motif hewan hampir tidak digunakan karena pengaruh ajaran Islam. Busana ini dipadukan dengan celana Sileuweu yang dihiasi sulaman emas di bagian ujung, serta sarung songket Aceh yang dikenakan di pinggang untuk menambah kesan anggun dan berwibawa.
Penampilan Linto Baro dilengkapi dengan Meukeutop, penutup kepala khas pria Aceh yang terinspirasi dari budaya Islam dan Kesultanan Turki. Warna hijau melambangkan Islam dan kedamaian, kuning melambangkan kebesaran kesultanan, hitam mencerminkan ketegasan, dan merah melambangkan keberanian. Di bagian atasnya terdapat hiasan Tampoek serta lilitan kain Ija Teungkulok sebagai simbol kehormatan.
Sebagai pelengkap utama, pria Aceh membawa Rencong, senjata tradisional yang menjadi simbol keberanian, ketangguhan, dan jati diri masyarakat Aceh. Rencong milik sultan biasanya terbuat dari emas dan bertuliskan ayat suci Al-Qur’an. Bentuknya diyakini menyerupai lafaz Bismillahirrahmanirrahim sebagai doa dan pengingat nilai moral.
Dengan demikian, pakaian adat Aceh bukan sekadar busana tradisional, melainkan warisan budaya yang mencerminkan sejarah, adat, serta nilai-nilai Islam yang terus dijaga dan diwariskan kepada anak cucu.(Adv)








Komentar