Rumoh Aceh Hunian Iklim Tropis Bernilai Sejarah dan Relegius

Pariwara13 views

BANDAPOS | Rumah panggung yang dibangun dari kayu tinggi menggunakan sistem pasak, tanpa paku. Rumah ini memiliki tiga bagian utama: Seuramoe Keuë (serambi depan), Seuramoe Teungoh (serambi tengah), dan Seuramoe Likôt (serambi belakang), ditambah Rumoh Dapu (dapur) disebut Rumoh Aceh. Keunikan rumah ini tidak hanya terletak pada ukiran kayu yang kaya motif flora, tetapi juga pada filosofi dan fungsinya, baik dalam menghadapi bencana alam maupun mencerminkan identitas masyarakat Aceh.

Bangunan tersebut diperkuat dengan lebih kurang 9 kaki di atas tanah untuk melindungi penghuni dari banjir dan binatang buas. Pintu rumah setinggi 120–150 cm mengharuskan tamu menunduk sebagai simbol penghormatan, sementara anak tangga ganjil mencerminkan kepercayaan adat Aceh tentang angka yang unik dan sulit ditebak. Bentuk panggung ini sekaligus mendukung ventilasi udara dan menjaga rumah tetap sejuk di iklim tropis.

Dari sejarah masa lalu Rumoh Aceh telah ada sejak masa kerajaan Aceh dan awalnya menjadi bentuk hunian umum masyarakat. Bahkan rumah pahlawan nasional seperti Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia termasuk Rumoh Aceh. Pendirian rumah berpedoman pada kitab adat Meukeuta Alam, termasuk tradisi melilitkan kain merah-putih pada tiang utama sebagai penghormatan kepada leluhur. Sesuai hukum adat Aceh, rumah diwariskan kepada anak perempuan, atau istri bila tidak memiliki anak perempuan.

Tiang penyangga terbuat dari kayu pilihan, jumlahnya disesuaikan luas rumah: 16 tiang untuk rumah 3 ruangan, 24 tiang untuk 5 ruangan, dan 32 tiang untuk 7 ruangan. Dinding papan dihiasi ukiran khas Aceh, alas rumah disematkan tanpa paku agar mudah dilepas, sedangkan atap menggunakan daun rumbia ringan yang sejuk dan mudah dipotong saat kebakaran. Pasak dan rotan digunakan untuk memperkuat konstruksi, menggantikan paku. Menurut Siegel (1979), sejak abad ke-18 ukiran rumah Aceh semakin rumit, menandakan perkembangan seni dan estetika masyarakat.

Selain sebagai tempat tinggal Rumoh Aceh juga mempunyai nilai sosial dan religius. Bangunan memanjang timur–barat mengikuti garis imajiner ke arah Ka’bah dan menyesuaikan arah angin untuk menghadapi badai. Semakin banyak ornamen dan ukiran, semakin tinggi status sosial pemilik rumah. Wisatawan Malaysia, Kamel Ishak, menyoroti keunikan rumah ini: panggung dengan ukiran bunga indah dan warna kuning sebagai simbol kebanggaan.

Secara Filosofi Rumoh Aceh dibangun berdasarkan rancangan yang mempertimbangkan seluruh aspek kehidupan dan mencerminkan budaya religius, egaliter, berjiwa seni, serta dirancang fungsional untuk iklim tropis dan perlindungan dari bencana alam.

Ukiran pada Rumah Adat Aceh, Perlambang Status Ekonomi Rumoh Aceh bukan sekadar hunian, tetapi simbol kearifan lokal, filosofi, dan identitas masyarakat Aceh yang terus dilestarikan.(Adv)

Komentar