BANDAPOS |”Uroe Makmeugang” merupakan sebuah tradisi unik masyarakat Aceh dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Salah satu tradisi yang dilakukan dengan pemotongan hewan satu atau dua hari sebelum ibadah puasa bulan ramadhan dimulai.
Tradisi pemotongan hewan ini dikenal oleh masyarakat Aceh dengan sebutan meugang atau makmeugang. Meugang dirayakan dengan cara memasak dan menyantap daging bersama keluarga sehari menjelang bulan Ramadhan. Hari tersebut dimanfaatkan sebagai momen berkumpul dan makan bersama keluarga. Bahkan, tidak jarang masyarakat Aceh juga mengundang anak yatim untuk menikmati kebersamaan pada hari Meugang.
Meugang dianggap memiliki nilai religius karena dilaksanakan pada waktu-waktu yang dianggap suci bagi umat Islam. Bagi masyarakat Aceh, bulan Ramadhan merupakan waktu untuk menyucikan diri. Mereka meyakini bahwa rezeki yang telah dicari selama sebelas bulan sebelumnya dinikmati pada bulan Ramadhan sambil memperbanyak ibadah. Menurut sejarah, tradisi meugang pertama kali dilakukan pada masa Kerajaan Aceh.
Kebiasan turun temurun pada hari meugang tersebut menjadi sakral dan kuat dilakukan dua hari sebelum bulan Ramadhan dan satu sebelum hari raya Idul Fitri, atau Idul Adha. Ritual ini berupa daging sapi atau kambing, yang kemudian diolah menjadi hidangan khas untuk dinikmati bersama keluarga, kerabat, dan tetangga. Meugang bukan sekadar momen makan bersama, tetapi juga simbol syukur, solidaritas, dan persiapan menyambut hari-hari besar keagamaan.
Dasar hari meugang berasal dari masa Kesultanan Aceh Darussalam, terutama pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Saat itu, Sultan menyembelih hewan dalam jumlah besar dan membagikan daging secara gratis kepada rakyat, khususnya kaum dhuafa, sebagai bentuk syukur atas kemakmuran negeri. Setelah masa penjajahan Belanda, masyarakat Aceh melanjutkan tradisi ini secara mandiri, sehingga Meugang tetap lestari hingga kini.
Meugang dilakukan pada waktu-waktu yang dianggap suci bagi umat Islam. Tradisi ini dipandang sebagai ekspresi kegembiraan menyambut bulan Ramadhan, di mana masyarakat Aceh percaya bahwa nafkah yang diperoleh selama 11 bulan dapat dinikmati sekaligus untuk beribadah. Kegiatan ini juga menjadi momen memaafkan dan mempererat tali silaturahmi antaranggota keluarga.
Meugang memiliki nilai sosial yang tinggi dapat mempersatukan keluarga, sering kali mengundang anak yatim, dan membagikan daging kepada tetangga. Tradisi ini memperkuat solidaritas dan kebersamaan di masyarakat. Bahkan, bagi mereka yang tinggal jauh, momen Meugang menjadi kesempatan untuk pulang ke kampung dan berkumpul bersama keluarga.
Tak hanya itu saja, Meugang juga memiliki dimensi ekonomi dan sosial yang unik. Harga daging melonjak signifikan pada hari Meugang, kadang mencapai ratusan ribu rupiah per kilogram. Bagi sebagian pria Aceh, kemampuan membeli daging saat Meugang menjadi simbol status dan harga diri, termasuk bagi pengantin baru. Ketidakmampuan memenuhi tradisi ini kadang menimbulkan tekanan sosial, meski tradisi tetap dijalankan karena makna kebersamaan dan syukur yang mendasarinya.
Bagi warga non-Aceh, suasana Meugang terasa berbeda. Adi Surya, warga Jakarta yang istrinya orang Aceh, mengatakan, “Memasak daging dengan rempah khas Aceh memberi makna tersendiri, sebagai bentuk syukur menyambut bulan suci”. Sebutnya.
Meugang bukan sekadar tradisi makan bersama. Ia merupakan simbol religius, sosial, dan budaya masyarakat Aceh. Tradisi ini menyatukan keluarga, membangun solidaritas antarwarga, sekaligus menjadi momen rasa syukur.(Adv)








Komentar