BANDAPOS | Berasal dari wilayah Aceh Barat Daya, Tarian Rapai Geleng lahir dan dikembangkan menjadi salah satu tarian daerah yang terkenal tanpa diketahui siapa nama tokoh yang mengembangkannya. Namun dari beberapa literatur disebutkan, Tarian ini berasal dari dalail khairat yang kemudian bertransformasi menjadi rateb geleng yang terakhir menjadi dalam wujud tari Rapai Geleng.
Tarian ini menggunakan lirik dalam bahasa Aceh dan dilantunkan oleh seorang Cahi atau Syahi (vokalis) yang diikuti oleh penarinya. Walaupun gerakannya hampir seperti tarian Saman namun alat dan bahasa yang digunakan sangat berbeda.
Alat musik rapai hampir sama dengan jenis alat musik tabuh lainnya yang populer di masyarakat yang lebih dikenal dengan nama “rebana” yang biasanya dalam bentuk yang lebih kecil dari rapai. Rapai memiliki bentuk yang sedikit lebih tebal dan suara yang lebih besar dan terdengar lebih menggema. Permainan Rapai yang telah dikembangkan dan diiringi dengan berbagai lagu-lagu dan variasi lenggak-lenggok yang indah membentuk sebuah tarian yang dinamai Rapai Geleng.
Rapai Geleng sebagai seni pertunjukan dalam wujud tarian sebagai rasa syukur atas keberhasilan dan kemakmuran. Fungsi dari tarian ini adalah syiar agama, menanamkan nilai moral untuk warga serta menjelaskan tentang hidup dalam warga sosial.
Tarian Rapai Geleng memiliki tiga babak yaitu Saleum (Salam), Kisah (kisah rasul, raja, dan ajaran agama), dan Lani (penutup). Setiap gerakan tarian ini didampingi tabuhan Rapai yang berirama satu-satu, lambat, kemudian berganti cepat didampingi dengan gerak tubuh yang sedang berposisi duduk bersimpuh, meliuk ke kiri dan ke kanan dengan gerakan cepat yang kian lama bertambah cepat.
Seni tarian Rapa’i Geleng merupakan gerakan pertunjukan tradisional Aceh yang memadukan tabuhan rapa’i, gerak tari, dan lantunan syair bernuansa dakwah. Tarian ini menampilkan nilai kebersamaan, kekompakan, serta pendidikan akhlak yang berakar kuat pada budaya dan ajaran Islam.
Rapa’i Geleng biasanya dimainkan oleh 12 penari laki-laki yang telah terlatih. Gerakan tari dilakukan secara serempak dengan posisi duduk bersimpuh, diiringi tabuhan rapa’i yang ritmenya berubah dari lambat hingga cepat. Syair yang dilantunkan berisi pesan keagamaan, nasihat kehidupan bermasyarakat, serta pentingnya solidaritas sosial. Kostum penari didominasi warna hitam dan kuning, dipadukan dengan aksesori merah.
Pertunjukan Rapa’i Geleng terbagi dalam tiga babak, yakni saleuem (salam pembuka), kisah yang memuat cerita nabi, rasul, raja, serta ajaran agama, dan lani sebagai penutup. Perubahan tempo tabuhan rapa’i dan gerakan tari mencerminkan dinamika kehidupan masyarakat Aceh.
Secara filosofis, Rapa’i Geleng memiliki empat tingkatan ritme gerak, yaitu lambat, cepat, sangat cepat, dan diam. Ritme lambat menggambarkan pentingnya musyawarah dan pemikiran matang sebelum mengambil keputusan. Ritme cepat dan sangat cepat melambangkan sikap tegas dalam menghadapi persoalan sosial, sementara gerakan diam menandakan ketegasan dan berakhirnya proses interaksi.
Pertunjukan ini kerap mendapat tanggapan positif dari wisatawan. Carlington, turis asal Inggris, menyebut Rapa’i Geleng sebagai pertunjukan yang spektakuler dan sarat energi, sekaligus mencerminkan budaya Aceh yang autentik.
Seniman Aceh, Jon Heri, menilai Rapa’i Geleng sebagai media dakwah yang efektif karena menggabungkan seni pertunjukan dengan syair religius. Menurutnya, pesan-pesan dalam Rapa’i Geleng bertujuan menanamkan nilai akhlak, rasa syukur, kebersamaan, dan persatuan dalam kehidupan masyarakat.
“Perpaduan irama cepat dan lambat mengajarkan pentingnya berpikir sebelum bertindak, sementara gerakan menggelengkan kepala menjadi simbol kuat perpaduan seni dan dakwah,” ujarnya. (Adv)








Komentar