BANDAPOS | Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki keanekaragaman budaya, mulai dari tarian, kuliner, destinasi wisata, adat istiadat, hingga sistem hukum yang berlaku di wilayah tersebut
Selain itu, Aceh juga memiliki kekhususan berupa otonomi khusus yang memungkinkan penerapan peraturan daerah berbasis syariat Islam. Tatanan sosial dan adat istiadat yang kuat membentuk karakter masyarakat Aceh yang dikenal tangguh, berpegang teguh pada nilai-nilai budaya, serta memiliki identitas yang khas dibandingkan daerah lain di Indonesia.
Dengan sejarah serta adat budaya yang unik, Aceh kini semakin dikenal dunia dan menjadi salah satu destinasi yang menarik untuk dikunjungi.
Salah satu ciri khas adat Aceh adalah penggunaan ranub (sirih) dalam berbagai prosesi penting, khususnya dalam upacara adat. Bagi masyarakat Aceh, ranub bukan sekadar tanaman herbal, melainkan simbol yang memiliki makna mendalam.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sirih adalah tumbuhan merambat yang daunnya terasa pedas dan biasa dikonsumsi bersama pinang, kapur, dan gambir. Selain dipercaya bermanfaat bagi kesehatan, dalam adat Aceh ranub memiliki nilai simbolik yang berkaitan dengan hubungan sosial dan adat istiadat.
Tradisi makan ranub dalam budaya Aceh merupakan warisan leluhur yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Tradisi ini dikenal dengan istilah “makan ranub” atau “menyirih”, yang diyakini telah ada sejak masa lampau. Sejumlah sumber menyebutkan bahwa kebiasaan mengunyah sirih dibawa oleh rumpun bangsa Melayu sekitar 500 SM ke kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Penggunaan ranub di Aceh juga tercatat dalam naskah kuno, salah satunya kitab Mujarabat. Dalam kitab tersebut, ranub dan pinang disebut berulang kali sebagai bahan ramuan obat tradisional. Pada masa Kesultanan Aceh, ranub tidak hanya dikonsumsi, tetapi juga digunakan dalam berbagai upacara besar kerajaan.
Dalam adat Aceh, dikenal istilah ranub lampuan, yaitu sebuah prosesi atau seremoni adat yang mengundang kerabat, keluarga, dan masyarakat setempat. Ranub lampuan erat kaitannya dengan upacara pernikahan, yang dalam masyarakat Aceh dipandang sebagai peristiwa sakral.
Perkawinan tidak hanya melibatkan linto baro (pengantin pria) dan dara baro (pengantin perempuan), tetapi juga melibatkan seluruh keluarga besar. Dalam proses penjajakan calon pasangan, masing-masing pihak menunjuk perantara yang disebut seulangke.
Menurut Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA), salah satu tahapan awal dalam prosesi pernikahan adalah ranub bate. Ranub ini dibawa oleh seulangke dari pihak calon linto baro ke rumah calon dara baro untuk menyelidiki status dan kesiapan calon mempelai perempuan. Tahapan ini dalam adat Aceh dikenal dengan istilah ba ranub.
Dalam proses tersebut, seulangke biasanya didampingi satu atau dua orang dari pihak linto baro, sambil berkomunikasi dengan keluarga calon dara baro. Hal serupa juga dilakukan oleh pihak perempuan untuk mengenal latar belakang calon linto baro. Apabila kedua belah pihak sepakat, maka informasi penerimaan lamaran akan disampaikan.
Tahapan selanjutnya dikenal dengan ranub kong haba atau ranub putu mayang. Prosesi ini dilakukan dengan membawa ranub beserta rombongan ke rumah calon dara baro sebagai tanda peminangan, yang juga disebut jak ba tanda atau penguatan tanda jadi.
Dalam upacara ini, diserahkan ranub bersusun, pinang, berbagai bahan makanan, telur rebus berwarna-warni, seperangkat pakaian yang disebut lapek tanda, serta perhiasan emas sesuai kemampuan pihak calon linto baro. Seluruh perlengkapan tersebut ditempatkan dalam dalong atau talam yang dihias secara khusus.
Sirih dalam prosesi ini menjadi simbol ikatan janji pertunangan yang harus dipatuhi oleh kedua belah pihak. Pelanggaran terhadap kesepakatan tersebut dapat dikenai sanksi adat.
Rombongan seulangke dan para tokoh gampong kemudian menyerahkan ranub dong, yaitu sirih yang disusun tegak dalam sebuah talam lengkap dengan pinang, gambir, kapur, dan bunga lawang (cengkeh). Ranub dong beserta tanda ikatan berupa emas atau benda berharga lainnya diletakkan di hadapan keuchik dan teungku sebagai simbol pengesahan janji yang telah disepakati.(Adv)








Komentar