BANDAPOS : Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Publik, Dr. Taufiq Abdul Rahim SE., M.Si., menilai
politik uang atau money politic jelang Pemilu sudah mulai terlihat. Tindakan semacam itu sudah mulai terlihat dan bagaikan suatu penyakit dan sindrom akut dari para politisi.
Penyebabnya kata Taufiq karena sistem kepemiluan saat ini sangat membuka ruang, kesempatan dari para aktor politik dan politisi.
“Jadi mereka ini lihai sekali memanfaaatkan peluang ini dengan cara pendekatan uang atawa materi,” ungkap dosen Universitas Muhammadiyah (Unmuha) Aceh ini kepada wartawan di Banda Aceh, Rabu (13/12/2023).
Ironisnya lagi, ada janji dalam bentuk uang dengan menggunakan cara-cara yang terstruktur, sistemik dan masif.
Hal ini terjadi disebabkan aturan terhadap pemberian uang atau materi serta gratifikasi ini dibenarkan dalam aturan Pemilu yaitu, sesuatu barang yang diberikan harganya sudah ditentukan dibawah Rp 50 ribu.
Namun sesungguhnya kata Taufiq, bukan tidak mungkin dibalik barang pemberian itu ada terselip sejumlah uang jauh lebih tinggi lagi.
Nah secara hukum, hal ini sama sekali tidak ada tindakan konkrit secara hukum dari para penyelenggara dan pengawas Pemilu terhadap praktik culas dan busuk tersebut
Bahkan berbagai fenomena yang berkembang terhadap politik uang / money politik yang dilakukan oleh para politisi atau aktor politik, tapi tetap tidak ditindak.
Karena saban kali dilaksanakan Pemilu praktik ini terus berulang kali dilakukan, dan semakin menjijikkan.
“Meskipun para pemantau Pemilu serta kelompok masyarakat sipil sudah melaporkan dan mengingatkan, namun para pihak penyelenggara dan pengawas Pemilu diam saja dan tidak ambil pusing,” tuturnya.
Menurut Taufiq A Rahim, selama penegakan dan kepastian hukum terhadap penyalahgunaan wewenang, pelanggaran hukum dan praktik “money politics” yang cukup lihai dengan berbagai strategi dilakukan oleh para aktor politik serta politisi, maka jangan harapkan negara ini akan semakin baik,.
Karenanya tak heran, pasca Pemilu setelah terpilih, maka politisi kembali menjadi milik partai politik yang menjalankan kepatuhan (loyal) terhadap ketentuan “patront and client” antara politisi dengan pemimpin, elite partai.
“Bahkan mereka boleh jadi setelah terpilih lebih loyal kepada para oligarki ekonomi dan politik partai yang ikut menentukan arah kebijakan politik, ekonomi serta sistem kenegaraan yang korup ini,” katanya.
Dampaknya apa tambahnya, masyarakat tetap miskin atau dimiskinkan secara sistemik, kemudian diperlukan lagi pada saat suara kembali diperlukan dalam Pemilu.
Nah, biasanya Pemilu sebagai dasar demokrasi menyimpulkan bahwa kedaulatan serta kekuasaan politik rakyat tertinggi ditentukan oleh pilihan politiknya.
“Jika mengacu kepada aturan Pemilu, maka riuh-rendah penyelenggaraan pesta demokrasi (Pemilu) 2024 tersisa hitungan bulan ke depan,” tuturnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, ini sesungguhnya pemilu yang bakal digelar 14 Februari 2024 nanti tidak hanya pemilihan presiden dan wakil presiden, tetapi juga memilih calon anggota legislatif tingkat DPR-RI, DPD-RI dan DPRD tingkat provinsi serta kabupaten/kota.
Tentunya momen itu oleh para calon (caleg/capres) akan dimanfaatkan menyiapkan diri untuk kampanye agar meraih jabatan politik.
“Namun yang perlu diingat, meraih kemenangan dengan cara terhormat, tanpa melanggar aturan. Salah satunya cara dengan tidak menggunakan politik uang alias money politik,” demikian kata Taufiq A Rahim, SE., M.Si., Ph.D.(*)
Komentar