BANDAPOS | Aceh adalah provinsi paling barat di Indonesia dengan masyarakat mayoritas Muslim terbesar di Indonesia, memiliki berbagai tradisi yang kaya akan nilai budaya. Salah satu tradisi yang telah diwariskan secara turun-temurun adalah Peutron Aneuk, yang juga dikenal dengan nama Turun Tanah.Tradisi ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Aceh dan merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan setiap kali seorang bayi lahir.
Asal Usul dan Pengaruh Agama Hindu
Meskipun Peutron Aneuk identik dengan masyarakat Aceh, tradisi ini memiliki akar yang lebih dalam yang berhubungan dengan kebudayaan agama Hindu. Sebagaimana diketahui, agama Hindu terlebih dahulu masuk ke wilayah Aceh sebelum kedatangan Islam. Meskipun Islam kemudian menjadi agama mayoritas di Aceh, beberapa elemen budaya Hindu tetap bertahan, termasuk dalam tradisi ini.
Seiring berjalannya waktu, Peutron Aneuk mengalami perubahan untuk menyesuaikan dengan ajaran Islam. Meskipun asal-usulnya terkait dengan budaya Hindu, prosesi ini kini dilakukan dengan mematuhi nilai-nilai agama Islam. Beberapa tradisi Aceh lainnya yang terpengaruh oleh Hindu, seperti Peusijuek, Boh Gaca, dan Kanduri Blang, juga menunjukkan transformasi budaya yang serupa.
Sejarah Peutron Aneuk
Tradisi Peutron Aneuk sudah ada sejak abad ke-13, tepatnya pada masa Kerajaan Samudera Pasai. Upacara ini terus dilestarikan bahkan pada masa Kerajaan Aceh Darussalam, dan hingga kini masih tetap menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Dikisahkan, pada saat kelahiran Sultan Iskandar Muda, tradisi ini dilaksanakan dengan sangat meriah. Jika bayi yang lahir adalah laki-laki, prosesi ini diiringi dengan tembakan meriam secara bergantian. Selain itu, ada juga pertunjukan pendekar yang memotong tiga batang pisang menggunakan pedang. Hal ini dipercaya sebagai simbol bahwa bayi tersebut kelak akan menjadi seorang pemberani, memiliki semangat juang tinggi, dan siap menghadapi tantangan kehidupan, terutama di medan peperangan.
Proses Pelaksanaan
Menurut nu.or.id, Peutron Aneuk dilaksanakan setelah kelahiran bayi mencapai hari-hari tertentu, biasanya sekitar 44 hari atau lebih. Makna dari “Peutron Aneuk” sendiri adalah Turun Tanah, yang bertujuan untuk memperkenalkan bayi kepada lingkungan sekitar, termasuk keluarga besar dan masyarakat. Tradisi ini bukan hanya sekadar seremonial, tetapi memiliki nilai penting sebagai momen pertama bayi diperkenalkan kepada dunia luar.
Pelaksanaan prosesi ini bervariasi. Beberapa keluarga melaksanakannya saat bayi berusia tujuh hari, diiringi dengan acara cukur rambut, aqiqah, dan pemberian nama. Ada juga yang melaksanakannya ketika anak telah mencapai usia satu hingga dua tahun, tergantung pada kebiasaan masing-masing keluarga. Biasanya, anak pertama mendapatkan prosesi yang lebih besar dibandingkan dengan anak-anak berikutnya.
Makna Mendalam dari Peutron Aneuk
Meski sudah menjadi tradisi turun-temurun, Peutron Aneuk bukan hanya sekadar ritual, melainkan mengandung makna yang sangat mendalam bagi perkembangan anak di masa depan. Tradisi ini dianggap sebagai doa dan harapan bagi bayi tersebut. Harapannya, kelak saat dewasa, anak yang telah mengikuti tradisi ini akan tumbuh menjadi pribadi yang memiliki keberanian, ketekunan, dan semangat yang kuat dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan.
Selain itu, tradisi ini juga mempererat hubungan antaranggota keluarga. Melalui pelaksanaan Peutron Aneuk, seluruh keluarga berkumpul, saling berbagi kebahagiaan, dan mempererat tali silaturahmi, yang tentu saja penting untuk membangun ikatan sosial yang lebih kuat dalam komunitas.
Di balik ritual adat tersebut, Peutron Aneuk juga mengandung pesan sosial yang kuat. Tradisi ini mempererat tali silaturahmi antaranggota keluarga besar maupun masyarakat sekitar. Kehadiran para tetangga yang ikut serta dalam acara menjadi simbol gotong royong dan rasa kebersamaan yang masih terjaga hingga kini di tengah masyarakat Aceh.
Tak jarang, acara ini juga diselingi dengan jamuan makan bersama berupa makanan tradisional khas Aceh. Hidangan tersebut menjadi bagian penting dari tradisi, karena melambangkan berbagi rezeki dan mempererat hubungan sosial. Menu yang dihidangkan biasanya disesuaikan dengan kemampuan keluarga, tetapi tetap sarat makna kebersamaan.
Dalam konteks modern, tradisi Peutron Aneuk masih terus dipertahankan, meski dalam beberapa kasus dilakukan dengan penyesuaian. Misalnya, prosesi dibuat lebih sederhana, tetapi esensi berupa doa syukur dan kebersamaan tetap diutamakan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Aceh mampu menjaga warisan leluhur tanpa mengabaikan perkembangan zaman.
Budayawan Aceh Syech Ghazali menyebutkan tradisi ini sebagai salah satu bentuk kearifan lokal yang memperlihatkan bagaimana agama, adat, dan nilai sosial berpadu harmonis dalam kehidupan masyarakat. Peutron Aneuk tidak hanya menandai kelahiran seorang bayi, tetapi juga menjadi simbol kelanjutan kehidupan dan harapan baru bagi keluarga serta komunitas.
“Melalui tradisi ini, masyarakat Aceh terus mengajarkan generasi muda tentang pentingnya menjaga identitas budaya, menghormati nilai-nilai agama, dan menguatkan ikatan sosial. Di tengah arus globalisasi, Peutron Aneuk menjadi pengingat bahwa setiap kehidupan baru adalah anugerah besar yang patut dirayakan dengan penuh syukur dan doa bersama,” katanya.
“Dengan demikian, Peutron Aneuk bukan hanya sekadar acara adat, melainkan bagian dari perjalanan budaya Aceh yang merefleksikan spiritualitas, kebersamaan, dan cinta kasih dalam menyambut kehidupan baru. Tradisi ini terus hidup dan berkembang, menjadi saksi bagaimana masyarakat Aceh menghargai kehidupan sejak awal kelahirannya,” tutupnya.
Kesimpulan
Peutron Aneuk adalah tradisi yang kaya akan makna dan nilai budaya bagi masyarakat Aceh. Lebih dari sekadar sebuah upacara, tradisi ini merupakan simbol harapan dan doa bagi masa depan anak, sekaligus menjaga hubungan kekeluargaan. Meski berakar pada kebudayaan Hindu, Peutron Aneuk telah beradaptasi dengan nilai-nilai Islam dan tetap menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Aceh.(Adv)







Komentar