BANDAPOS:Kebutuhan akses permodahlan bagi pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia secara umum dan masyarakat Aceh secara khusus sangatlah penting, kesulitan untuk mendapatkan modal di perbankan tidaklah semudah membalikan telapan tangan, disamping dibutuhkannya persyaratan administrasi yang lengkap dan terukur, prosesnya juga membutuhkan waktu yang lama.
Untuk memberikan akses yang lebih mudah bagi UMKM, maka lahirlah Undang-undang Nomer 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. Atas dasar ketentuan inilah maka didirikanlah Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS), Koperasi simpan pinjam, dan Koperasi Baitul Qiradh.
Kehadiran Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) khususnya di Aceh memiliki peran yang sangat penting dalam membantu usaha mikro, kecil dan menengah yang membutuhkan permodalan untuk membangun usaha baru atau pengembangan usahanya dalam rangkan pengembangan bisnis dan meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat, terutama bagi mereka yang berada di lapisan bawah.
Di Aceh yang mayoritas penduduknya beragama Islam, kehadiran Lembaga Keuangan Mikro Syariah menjadi solusi alternatif dalam memenuhi kebutuhan keuangan sesuai dengan prinsip syariah.
Walaupun di Aceh memiliki potensi yang cukup besar dalam pengembangan LKMS namun ada beberapa hambatan dan tantangan yang perlu diatasi agar kehadiran LKMS dapat berkembang secara optimal dan dirasakan manfaatnya bagi Masyarakat yang akan membutuhkan jasa layanannya.
Adapun beberapa hambatan sebagai berikut :
1. Minimnya Sosialisasi Tentang Keuangan Syariah
a. Salah satu tantangan dalam pengembangan LKMS di Aceh adalah kurangnya sosialisasi, edukasi dan literasi kepada masyarakat sehingga informasi keberadaan, tugas dan tanggung jawab Lembaga Keuangan Mikro Syariah kurang diketahui oleh mayoritas Masyarakat di Aceh.
b. Karena kurangnya sosialisasi kepada Masyarakat, sehingga Masyarakat dalam hal ini UMKM masih menganggap LKMS sama saja sulitnya untuk mendapatkan akses modal sebagaimana bank-bank umum yang selama ini mereka ketahui.
c. Masyarakat juga masih selalu menganggap LKMS yang secara operasionalnya dengan memiliki berbagai jenis akad-akad berdasarkan prinsip-prinsip syariah, masih dianggap sama dengan pola konvensional.
2. Sarana dan Infrastruktur yang terbatas. Para pendiri atau pemegang saham LKMS, hampir dipastikan dalam setiap membangun, mendirikan atau membuka bisnis keuangan mikro ini kurang dilengkapi dengan sarana dan infrastruktur kantor yang baik, sehingga masyarakat yang memiliki dana dan untuk menabung atau menjadi anggota koperasi merasa kurang percaya dan yakin dengan LKMS. Adapun kekurangan yang dimaksud sebagai berikut :
a. Tidak tersedianya jaringan internet dikantor, karena dianggap akan menambah biaya.
b. Tampilan Gedung kantor baik dari sisi dekorasi eksterior dan interior tidak mencerminkan bisnis Lembaga keuangan.
c. Jumlah jaringan kantor yang sedikit, justru mayoritas hanya memiliki 1 kantor yang membuat masyarakat pelaku UMKM kesulitan untuk akses layanan jika membutuhkan modal dan menabung jika memiliki kelebihan dana.
d. Suasana kantor yang kurang nyaman, karena selalu dibatasi penggunaan penerangan lampu dan AC.
3. Terbatasnya Sumber Daya Insani yang Berkompeten. Bagi LKMS yang baru didirikan, sumber daya insani/SDI yang dipekerjakan belum akan diberikan penghasilan gaji yang sesuai dengan standar UMP, karena keterbatasan kemampuan keuangan. Perubahan gaji akan disesuaikan dengan perkembangan bisnis LKMS dalam menghasilkan keuantungan. Kondisi ini yang membuat beberapa hal kelemahan sebagai berikut :
a. Sumber daya insani/SDI yang memiliki kompetensi dibidang produk akad-akad syariah di LKMS terbatas.
b. LKMS tidak memiliki prospek secara jenjang karier.
c. SOP dan ketentuan-ketentuan dibidang Operasional, Pembiayaan dan SDI tidak dilengkapi, kalaupun ada dalam prakteknya selalu tidak diterapkan sesuai ketentuan yang berlaku.
d. LKMS tidak menjalankan program penguatan SDI melalui pelatihan yang terarah dan berkesinambungan.
e. SDI di LKS dalam implementasi dilapangan tugas-tugasnya selalu dirangkap pekerajaan, sehingga peluang untuk membuat kecurangan akan tinggi.
4. Terbatasan Permodalan. Jumlah modal dalam mendirikan LKMS sangat menentukan laju pertumbuhan bisnis di lembaga keuangan mikro syariah, dengan jumlah yang kecil membuat bisnis LKMS akan sulit untuk dikembangkan secara jangka panjang dan justru memiliki resiko tinggi terhadap kegalalan. Dengan kecilnya modal dan kecilnya minat masyarakat untuk menabung di LKMS membuat langkah penyaluran pembiayaan juga akan terbatas, sehingga bisnis juga akan berjalan sesuai kemampuan dana yang ada. Salah satu penyebab kecilnya minat masyarakat mau menabung di LKMS karena tidak mendapat penjaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagaimana penjaminan jika menabung di BPR Syariah dan Bank Umum Syariah lainnya.
5. Persaingan dengan Lembaga Keuangan Lainnya & Konvensional. Walaupun lembaga keuangan mikro syariah menawarkan solusi yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah sesuai dengan nilai-nilai agama Islam, namun tantangan utama yang harus dihadapi adalah persaingan dengan sesama LKMS, BPR Syariah, Bank Umum Syariah lainnya dan lembaga keuangan konvensional yang beroperasi di Aceh secara sembunyi-sembunyi. Lembaga keuangan Syariah lainnya menawarkan dengan tingkat margin dan bagi hasil pembiayaan yang relative jauh lebih murah dibandingkan dengan LKMS. Keberadaan lembaga keuangan mikro konvensional yang sembunyi-sembunyi (rentenir) ini seringkali membuat masyarakat lebih memilihnya meskipun bunga tinggi dan terdapat prinsip riba yang bertentangan dengan ajaran agama, namun prosesnya cepat (1 jam cair) dan syaratnya dipermudah. Hal ini menjadi tantangan bagi LKMS untuk memperkenalkan dan menarik minat masyarakat terhadap produk-produk keuangan syariah yang lebih sesuai dengan kebutuhan mereka.
6. Kebijakan Pemerintah. Meskipun Aceh memiliki aturan khusus yang mendukung pengembangan lembaga keuangan syariah, kebijakan pemerintah terkait dengan regulasi dan pengawasan lembaga keuangan mikro syariah masih perlu diperkuat. Ada kalanya kebijakan yang ada belum sepenuhnya mendukung keberlanjutan dan perkembangan LKMS, baik dari sisi peraturan yang lebih fleksibel maupun insentif yang lebih menguntungkan. Dalam beberapa kasus, prosedur administratif yang rumit atau kebijakan yang belum optimal menyebabkan LKMS kesulitan dalam menjalankan operasionalnya. Pemerintah perlu memberikan dorongan yang lebih besar, baik dalam hal kebijakan, pengawasan, maupun dukungan pembiayaan agar LKMS dapat berkembang lebih pesat.
7. Kurangnya Inovasi Produk Keuangan. Lembaga keuangan mikro syariah di Aceh juga menghadapi tantangan dalam hal inovasi produk. Produk-produk yang ditawarkan oleh LKMS masih terbatas dan cenderung mengikuti pola yang sama. Padahal, untuk menarik lebih banyak nasabah, terutama kalangan muda dan pelaku usaha kecil, dibutuhkan produk-produk yang lebih inovatif dan relevan dengan kebutuhan mereka. Kurangnya kreativitas dalam pengembangan produk finansial syariah sering kali menghambat daya tarik LKMS bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang mencari solusi keuangan yang lebih fleksibel dan modern.
Kesimpulan
Pengembangan lembaga keuangan mikro syariah di Aceh menghadapi berbagai hambatan dan tantangan yang perlu diatasi secara bersama-sama. Dari kurangnya pemahaman masyarakat tentang keuangan syariah hingga keterbatasan infrastruktur dan sumber daya insani yang mumpuni dibidangnya, semua faktor ini memerlukan perhatian serius dari pemerintah, masyarakat, dan para pelaku industri keuangan syariah. Dengan sinergi yang baik antara pihak-pihak terkait, diharapkan lembaga keuangan mikro syariah di Aceh dapat tumbuh dan berkembang, memberikan manfaat lebih besar bagi perekonomian masyarakat, dan menjadi alternatif yang lebih baik dibandingkan dengan lembaga keuangan konvensional.
Penulis : Sugito
(Direktur Utama PT. BPR Syariah Hikmah Wakilah)
Mahasiswa Program Doktor Fiqh Modern Pascasarjana
Kosentrasi Hukum Ekonomi Syariah
UIN Ar Raniry Banda Aceh.
Komentar