BANDAPOS | Tari Seudati adalah tarian tradisional khas Aceh yang ditarikan oleh sekelompok laki-laki (biasanya 8 orang) dengan gerakan kompak, energik, dan agresif seperti tepukan dada/pinggul serta hentakan kaki, diiringi syair dan nyanyian tanpa alat musik, berfungsi sebagai media dakwah Islam dan pembangkit semangat, dengan busana dominan putih, kain songket, dan ikat kepala merah, serta mencerminkan kebersamaan, kepahlawanan, dan nilai-nilai agama.
Tari Seudati adalah tari tradisional asal Aceh yang pada pementasannya dibawakan oleh sekelompok laki-laki. Tari ini dilakukan tanpa musik pengiring melainkan diiringi oleh syair penuh makna yang dilantunkan oleh dua orang dan didukung gerakan penari yang menimbulkan suara seperti tepukan dada dan pinggul serta hentakan kaki dan jentikan jari.
Tarian yang diperkirakan telah ada sejak abad ke-16 ini menjadi salah satu tari legendaris dengan banyak pesan moral dan bahkan digunakan sebagai media dakwah serta dikenal sebagai tari pengobar semangat para pemuda Aceh kala itu untuk berperang melawan penjajah pada era kolonial zionis freemansonry Belanda.
Komponen Tari Seudati
Jumlah penari dalam tari Seudati berjumlah minimal 8 orang sebagai penari utama yang mana masing-masing akan memerankan peran yang berbeda-beda
Peran tersebut antara lain satu orang pemimpin yang disebut syeh.
Dua orang menjadi apeetwie atau pembantu syeh yang ditempatkan di sebelah kiri, satu orang menjadi apeet bak atau pembantu syeh yang ditempatkan di belakang serta tiga orang lainnya sebagai pembantu biasa.
Dua orang pelantun syair sebagai pengiring para penari yang disebut dengan aneuk syahi.
Dalam pementasannya, terdapat beberapa babak yang akan dimainkan yaitu Saleum aneuk, Saleum syeh, Likok, Saman, Kisah, Lanie (Gambus pembuka) dan Gambus penutup.
Syair-syair Seudati menggunakan sajak a-b-a-b dan berisi berbagai pesan seperti pesan agama Islam, pesan adat Aceh, pembakar semangat dan kisah sejarah Aceh.
Pada perkembangannya isi syair pada tari Seudati dapat disesuaikan. Bahkan jika syeh atau aneuk syahi telah berpengalaman dan handal maka mereka dapat menciptakan syair secara spontan saat pementasan berlangsung.
Penari Seudati menggunakan baju dan celana berwarna putih. Dilengkapi dengan aksesoris berupa kain songket yang dililitkan di pinggang hingga ke paha, rencong di bagian pinggang dan tengkulok (ikat kepala) berwarna merah.
Ada yang mengatakan Seudati berasal dari bahasa Arab, yaitu “saadati” yang mengandung makna tuan-tuan atau bapak-bapak. Yang dimaksud tuan-tuan dalam Seudati adalah para pemain Seudati yang terdiri dari 8 orang. Sedangkan yang memanggilnya yaitu anak Seudati atau sering disebut aneuk syahi, yang sifatnya aneuk syahi ini adalah anak dari pemain Seudati itu sendiri.
Seudati adalah asalkata dari “Syahadatin” yang berasal dari bahasa Arab, atau berawal dari sebuah kata “Samaniyah” yang berati delapan. Oleh sebab itu, diawal-awal perkembangannya, seni Seudati sering disebut dangan “Saman”, asal kata dari “Samaniyah” yang artinya delapan, karena kesenian ini dimainkan oleh delapan orang.
Sedangkan untuk orang yang memainkannya disebut “Meusaman”. Namun entah bagaimana perubahannya dalam perkembangan kemudian orang Aceh menyebutkan seni Saman ini dengan sebutan Seudati.
Menurut sejarah, lahirnya seni Seudati di Aceh tak terlepas dari pengembangan ajaran Islam. Para ulama Aceh dulu dalam mendakwahkan ajaran Islam menciptakan berbagai syair dan gerakan-gerakan sambil melantunkan pesan-pesan ajaran agama dengan syair-syair tersebut.
Salah seorang ulama yang dianggap paling berperan dalam mendakwahkan ajaran Islam melalui syair yang diiringi gerakan tari-tarian adalah Syekh Abdurrauf atau yang lebih dikenal dengan nama Tgk Syiah Kuala sebelum beliau diangkat menjadi Muftiyakat atau Qadhi Malikul Adil pada kerajaaan Aceh Darussalam pada masa Sultanah Ratu Safiatuddin (1641-1675 M).
Dari sejarah ini menginformasikan bahwa “tari saman” yang kemudian lebih populer disebut “seni Seudati” telah tumbuh dalam masyarakat Aceh sejak awal abad ke-17 M, yang pada dasarnya jenis kesenian ini diperkenalkan oleh seorang ulama besar Aceh, yaitu Syekh Abdurrauf As-Singkili (1615-1693 M).
Namun pada masa Abdurrauf permainan tarian-yang kemudian diberi nama “tari Saman” atau “Seudati” belum tersebut-sebut dalam masyarakat Aceh. Permainan “tari Saman” ini hanya dimaksudkan untuk mengumpulkan masyarakat di tempat-tempat tertentu untuk lebih mudah memberikan pengajaran agama kepada masyarakat.
Akan tetapi dalam waktu bersamaan ketika itu ada seorang ulama dari kampung Busu Pidie bernama Tgk. Seumatang, beliau selain dikenal sebagai seorang ulama yang memimpin sebuah dayah (pesantren) di Pidie, juga dikenal sebagai seorang penyair (pengarang puisi) dalam bahasa daerah (Aceh), yang konon kabarnya salah satu hikayat karyanya yang sangat popular dalam masyarakat Aceh dulu adalah “Hikayat Akbarulkarim”. Ulama inilah yang mula-mula menciptakan seni “tari Saman” yang kemudian lebih dikenal dengan “Seudati” dalam masyarakat Aceh
Dengan demikian teranglah bahwa sejarah lahirnya Seni Seudati dalam masyarakat Aceh mula-mula berawal dari daerah Pidie, yang kemudian berkembang keseluruh daerah di Aceh sebagai seni tradisi yang dianggap paling strategis untuk menyampaikan pesan-pesan agama dan sosial dalam masyarakat.
Seni Seudati Aceh sekarang tidak hanya menjadi milik masyakat Aceh saja, melainkan sudah menjadi salah satu jenis kesenian tradisi milik masyarakat nasional di Indonesia. Bahkan sudah menjadi milik masyarakat dunia. Sebab Seni Seudati ini sudah pernah beberapa kali menjadi “seni tradisi” terbaik dalam festival-festival seni tradisi di dunia.
Seperti dalam tahun 1991, dari ratusan seni tradisi dunia yang ditampilkan dalam pentas KIAS’91 (Misi Diplomatik Kebudayaan Indonesia Amerika Serikat) Festival Seni Tradisi tingkat dunia di New York Amerika Serikat dan sejumlah Negara Bagian lainnya di sana, seni Seudati Aceh yang dikoreograferkan oleh Noerdin Daud dan Marzuki Hasan Dosen Tari Aceh Fakultas Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang membawakan dua group terkenal yakni Syeh Lah Geunta dari Lhokseumawe Aceh Utara dan Syeh Lah Bangguna dari Pidie Jaya (alm) mewakili misi kesenian Indonesia dalam Festival itu, seni Seudati ini berhasil ke luar sebagai seni tradisi terbaik tingkat dunia memboyong Piala Bessey Award. Sebuah hadiah tertinggi dan paling bergengsi bagi seni pertunjukan katagori negeri Asia selama 40 tahun
Seudati Kabupaten Pidie dan Pidie Jaya
Jenis kesenian rakyat yang paling populer dalam masyarakat Kabupaten Pidie di Aceh ialah seni seuda-ti dan laweut disamping ada jenis kesenian tradisional lainnya, seperti meurekon dan Baktok. Tetapi dalam buku ini kita tak hanya akan melihat dalam masyarakat Pidie, tetapi juga dalam masyarakat Aceh keseluruhan, yaitu seni Seudati.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Tarian Seudati disini kita mengutip akan sebuah pandan-gan dari sebuah artikel The Atlantic Monthly (Juni 1956). Dalam artikel ini di sebutkan: “Di Pulau Sumatra bagian utara yang telah lama menjadi pusat perdagangan antar bangsa di Asia mempunyai aneka pola kebudayaan dan tari-tarian tradisionalnya”.
Di Aceh, yaitu di ujung utara pulau Sumatra terdapat jenis tarian yang sangat terkenal, yakni tarian seudati yang permainannya dilakukan oleh sembilan atau sepuluh orang pemuda. Tarian mereka sangat hidup dan bersemangat diiringi dengan nyanyian seorang pemuda, sedangkan yang lainnya mengadakan formasi liku-liku serupa dengan melompat ke depan, ke samping dan ke belakang sejalan dengan irama nyanyian serta bunyi, “ketipan” anak jari dan suara pukulan dada mereka dengan telapak tangannya.
Perkataan seudati diambil dari kosa kata bahasa Arab “Syahdatain” yang berarti “Dua Pengakuan”. Atau “pengakuan”. Misalnya, orang yang ingin memeluk agama Islam. Ini diharuskan mengucapkan dua Syahadat (dua pengakuan), yaitu mengakui bahwa “Tiada Tuhan melainkan Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Bila kita telaah lebih luas lagi, kita akan dapat mengetahui bahwa tarian Seudati pada mulanya bukan suatu tarian, tapi lebih merupakan suatu “ritual upacara” bersifat keagamaan yang permainannya dilaksanakan sambil Namun duduk. dalam perkembangan selanjutnya mengalami perubahan-perubahan seiring dengan perkembangan zaman yang akhirnya seudati ini dimainkan dalam bentuk gerak formasi berdiri seperti yang kita kenal sekarang ini.
Dalam setiap group atau kelompok pemain seudati ini biasanya terdiri dari 10 orang. Satu orang diantaranya bertindak sebagai Syeh (Pimpinan) dan satu orang sebagai Apit Syeh (wakil pimpinan). Keduanya berdiri pada posisi “baris depan tengah”, dalam formasi susunan barisan itu terdiri dari empat-empat orang. Mengapa demikian? Hal ini menggambarkan bahwa suku bangsa Aceh terdiri dari empat suku bangsa yang homogen, yaitu suku Arab, India, China dan Hindia. Dalam setiap suku bangsa ini digambarkan bahwa mereka memiliki semangat yang ulet (Strugle Forlife). Hal inilah yang membuat suku Aceh mempunyai sifat heroisme tinggi yang dituangkan kedalam tarian seudati.
Uniknya, seudati ini sama sekali tidak memakai instrumen musik apa-apa. Namun untuk memainkannya harus dilengkapi dengan pakaian kostum khusus. Celana panjang harus berwarna hitam, baju kaos lengan panjang berwarna putih, memakai tengkulok bermotif songket Aceh di kepala, kain sarung Aceh dililit di bagian pinggang yang dilengkapi dengan sebilah rencong berpucuk dan lain-lain.
Memainkan Seudati memang sangat tergantung pada Syeh (Pimpinan), karena hampir semua gerak (likot) serta lagu atau Ratoh selalu dimulai oleh Syeh atau apet Syeh yang kemudian baru diikuti secara bersama-sama. Permainan seudati ini dimulai dengan berdiri secara berderet oleh delapan orang pemain dengan mengambil posisi pas di tengah panggung yang terdiri dari dua deret. Satu deret masing-masing 4 orang. Di tengah-tengah deretan paling depan berdiri Syehnya, sedangkan di sebelah kiri berdiri wakil Syeh yang disebut juga dengan apet Syeh.
Setelah itu secara serentak mereka mengancungkan lengannya ke arah depan dan ke samping kiri-kanan dengan gerak-gerak tangan kanan mereka yang gemulai lembut, kemudian menuju ke depan dengan langkah tangan yang gemulai lembut, kemudian menuju ke depan dengan langkah kaki yang gemulai pula, terus berbelok ke arah samping membentuk lingkaran segi empat dan seterusnya. Setiap gerakan mereka disertai dengan ratoh atau lagu-lagu yang mengandung arti memberikan penghormatan kepada tamu atau pengunjung yang hadir dimana mereka bermain.
Seudati Aceh Utara dan Bireuen
Salah satu kesenian yang paling merakyat di Aceh ialah tari Seudati. Kesenian ini selain terdapat dalam masyarakat Pidie dan Pidie Jaya, juga berkembang dalam masyarakat Aceh Utara. Bahkan sekarang sudah menyebar ke seluruh daerah Aceh sebagai ciri khas kesenian rakyat yang sudah dikenal secara nasional dan manca negara. Namun permainan seni yang sangat merakyat ini paling dominan perkembangannya ialah di beberapa Kabupaten yang ada di pesisir utara dan timur Aceh seperti disebutkan di atas.
Pada dasarnya seni tari Seudati yang berkembang di Aceh Utara tak jauh berbeda dengan seni tari Seudati yang ada dalam masyarakat Kabupaten Pidie dan Pidie Jaya.
Oleh karena itu, dalam buku ini kita tidak akan menjelaskan lebih rinci lagi mengenai Seudati Aceh Utara, karena apa yang dijelaskan tentang Seudati Aceh Utara ini sudah kita sebutkan pada pembahasan Seudati yang berkembang dalam masyarakat Pidie dan Pidie Jaya. Baik dari segi aspek perkembangannya, cara permainan tak jauh berbeda dari yang telah kita sebutkan dalam bentuk Seudati yang berkembang dalam masyarakat Pidie dan Pidie Jaya.
Hanya saja frekuensi pagelaran yang lazim kita kenal dengan sebutan Seudati Tunang, lebih menonjol dan terjadwal dilaksanakan di Aceh Utara dalam setiap event tahunan, baik diselenggarakan oleh organisasi pemuda, kelompok pecinta kesenian maupun oleh Instansi Pemerintah Daerah setempat dan perusahaan besar yang berdomisili disana. Maka setiap tahun agenda Seudati Tunang hampir tak pernah absen baik di Aceh Utara maupun Kabupaten Bireuen.
Kaka pelaku seni tari Seudati mengatakan Keunikan tari Seudati yang lain ada pada kostum yang digunakan oleh penari. Semua penari wajib menggunakan kostum berwarna putih baik itu baju maupun celana. Alasan warna putih yang dipilih dikarenakan warna ini diartikan sebagai kesucian. Khusus untuk ikat kepala berwarna merah.
“Warna ini dipilih karena merah memiliki arti keberanian. Hal ini sejalan dengan perjuangan rakyat Aceh pada zaman penjajahan yang berani menentang kekejaman pada waktu itu,”kata dia.
Ciri-ciri Utama
Asal Nama: Berasal dari kata syahadat (pengakuan keesaan Allah) atau seurasi (kompak/harmonis).
Penari: 8 penari laki-laki (Syeh, pembantu Syeh, dll.) dan 2 penyanyi (Aneuk Syahi).
Gerakan: Tepukan tangan ke dada/pinggul, hentakan kaki, jentikan jari, sangat kompak dan energik.
Iringan: Tanpa alat musik, hanya mengandalkan syair/pantun yang dinyanyikan dan suara penari.
Busana: Baju putih ketat, celana panjang, kain songket di pinggang, rencong, dan tanjulok (ikat kepala) merah.
Makna & Fungsi: Media dakwah Islam, membangkitkan semangat, menampilkan kepahlawanan, serta mencerminkan kebersamaan dan kekompakan.
Asal-usul dan Perkembangan
Berkembang di pesisir Aceh seiring masuknya Islam, digunakan sebagai alat dakwah oleh penyair Muslim.
Berasal dari desa Gigieng, Pidie, lalu menyebar ke seluruh Aceh.
Babak Pementasan (Contoh)
Saleum aneuk, Saleum syeh, Likok, Saman, Kisah, Lanie (Gambus pembuka), dan Gambus penutup.
Makna Filosofis
Menggambarkan kebersamaan, perjuangan, dan keagungan Tuhan, serta nilai-nilai moral dan adat Aceh.(Adv)








Komentar