BANDAPOS | Kenduri Laut, atau yang dikenal sebagai Adat Laut, merupakan tradisi masyarakat pesisir di Provinsi Aceh. Upacara ini digelar setiap tahun sebagai wujud rasa syukur nelayan serta untuk memperkuat eksistensi Lembaga Hukum Adat Panglima Laut.
Kenduri Laut biasanya dilakukan menjelang musim timur atau saat musim barat akan berakhir. Setiap desa pantai yang berada di wilayah Panglima Laut, maupun di tingkat kabupaten, rutin menyelenggarakan tradisi ini.
Bagi masyarakat nelayan, Kenduri Laut menjadi sarana untuk bersyukur kepada Sang Pencipta, menjaga hubungan manusia dengan alam, sekaligus melestarikan lingkungan sekitar.
Persiapan dan Pelaksanaan
Pelaksanaan Kenduri Laut dimulai dengan tahap persiapan. Nelayan dan warga menyiapkan berbagai sajian makanan untuk tamu dan masyarakat yang hadir, perlengkapan peusijuk sebagai bagian dari prosesi, serta perahu untuk membawa sesaji ke tengah laut.
Sumbangan untuk kenduri dikumpulkan melalui iuran dari nelayan sesuai kemampuan masing-masing. Besaran iuran dan jadwal pelaksanaan ditentukan melalui musyawarah warga.
Saat pelaksanaan, daging lembu yang disembelih dimasak, namun tidak boleh dimakan sebelum ada perintah dari Panglima Laot dan panitia. Sebagian daging dan nasi dipisahkan untuk dinaikkan ke perahu bersama orang-orang yang membaca doa. Isi perut lembu yang tidak dimasak dijahit kembali ke kulitnya.
Perahu yang membawa sesaji kemudian berangkat ke tengah laut. Sesaji berupa kepala lembu, isi perut, dan tulang dibuang ke laut sambil dibacakan doa keselamatan dan doa syukur. Meskipun ritual berbeda antar daerah, intinya tetap sama: mengungkapkan rasa syukur dan menjaga tradisi.
Nilai dan Filosofi Kenduri Laut
Panglima Laot Lamteungoh, Peukanbada, Kabupaten Aceh Besar, Baharuddin, menjelaskan bahwa Kenduri Laut adalah budaya yang harus dilestarikan.
“Kenduri Laut merupakan bentuk rasa syukur nelayan kepada Allah SWT atas rezeki hasil tangkapan ikan. Waktu pelaksanaannya bisa berbeda, tergantung kemakmuran nelayan dan kesepakatan mereka,” ujarnya.
Biasanya, kenduri diadakan sekali setahun, tetapi bisa juga setiap tiga bulan jika nelayan sepakat. Acara ini juga bertujuan mengikat silaturahmi dan membina kekompakan antar pelaut serta masyarakat pesisir.
Transformasi Budaya
Budaya Kenduri Laut telah ada sejak zaman nenek moyang. Sebelum tsunami, tradisi ini melibatkan melemparkan kepala kerbau ke laut. Kini, meski beberapa ritual berubah, esensi kenduri tetap sebagai bentuk syukur kepada Sang Pencipta dan pelestarian budaya lokal.
Makna dan Tujuan
Rasa Syukur: Mengungkapkan terima kasih kepada Allah SWT atas rezeki laut, yang juga menjadi daya tarik wisata.
Silaturahmi: Mempererat kebersamaan nelayan dan masyarakat pesisir.
Pelestarian Adat Menjaga tradisi turun-temurun yang dipimpin Panglima Laot.
Prosesi Utama
Makan Bersama: Hidangan utama berupa daging kerbau dimasak dan disantap bersama warga, biasanya di meunasah.
Doa & Santunan: Pembacaan doa keselamatan dan kesejahteraan, serta pemberian santunan kepada anak yatim.
Pelepasan Sesajen ke Laut: Kepala kerbau, isi perut, dan tulang dibawa ke tengah laut sebagai simbol sedekah laut dan doa keselamatan.
Waktu Pelaksanaan
Umumnya diadakan setahun sekali, sering bertepatan dengan hari besar Islam atau tanggal yang ditetapkan Panglima Laot.
Nilai Penting
Hubungan Manusia dan Alam: Mengajarkan keseimbangan dengan alam agar rezeki laut tetap tersedia.
Kearifan Lokal: Warisan budaya yang menggabungkan nilai Islami dan adat istiadat setempat.
Kenduri Laut menjadi bukti bagaimana tradisi lokal mampu menyeimbangkan aspek spiritual, sosial, dan lingkungan, sekaligus menjaga identitas budaya Aceh.(Adv)








Komentar