BANDAPOS | Peusijuek merupakan upacara adat khas Aceh yang melambangkan doa, keselamatan, dan keberkahan. Tradisi yang juga dikenal sebagai tepung tawar ini dilakukan pada berbagai momen penting dalam kehidupan masyarakat, seperti pernikahan, khitanan, kelahiran bayi, menempati rumah baru, penyambutan tamu, hingga kegiatan pertanian dan penyelesaian konflik.
Peusijuek telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Aceh, baik di gampong hingga wilayah perkotaan. Upacara ini menjadi bagian penting dari tradisi turun-temurun yang merepresentasikan rasa syukur serta permohonan perlindungan kepada Allah SWT.
Dalam pelaksanaannya, peusijuek menggunakan berbagai bahan simbolis, antara lain air, tepung tawar, beras, dan daun-daunan. Bahan-bahan tersebut dipercikkan atau dioleskan kepada orang atau benda yang dipeusijuek, disertai pembacaan doa-doa Islami oleh tokoh adat atau ulama.
Tokoh masyarakat Aceh, Teungku H. Ghazali, menyebutkan bahwa peusijuek pada hakikatnya merupakan wujud doa dan harapan yang diekspresikan melalui ritual adat.
“Peusijuek adalah simbol rasa syukur dan permohonan perlindungan kepada Allah SWT yang diwariskan secara turun-temurun,” ujarnya.
Upacara peusijuek biasanya dipimpin oleh tetua adat atau ulama yang memiliki pemahaman mendalam terhadap adat dan agama. Setiap unsur yang digunakan memiliki makna filosofis. Air melambangkan kesucian dan keberkahan, daun-daunan serta bunga melambangkan harapan agar doa yang dipanjatkan sampai kepada Allah SWT, sementara nasi ketan (bu leukat) melambangkan eratnya persaudaraan.
Selain dilakukan kepada manusia, peusijuek juga diterapkan pada benda, seperti rumah baru, kendaraan, tempat usaha, hingga benih padi. Dalam kegiatan pertanian, dikenal peusijuek pade bijeh, yaitu ritual sebelum menanam padi agar tanaman tumbuh subur dan terhindar dari hama.
Budayawan Aceh, Sarjev Hirzy, menjelaskan bahwa peusijuek juga berperan penting dalam menjaga keharmonisan sosial masyarakat.
“Dalam penyelesaian konflik, peusijuek yang dikenal sebagai peusijuek meulangga menjadi simbol perdamaian setelah perselisihan, bahkan yang melibatkan pertumpahan darah, dengan disertai pemberian sayam atau uang perdamaian,” jelasnya.
Di akhir prosesi peusijuek, nasi ketan biasanya dibagikan dan dimakan bersama sebagai simbol persatuan dan kebersamaan antar keluarga serta masyarakat.
Tradisi peusijuek mencerminkan kuatnya integrasi antara adat dan ajaran Islam di Aceh, sebagaimana tertuang dalam prinsip “Hukom ngon adat hanjeut cre lagee zat ngon sifeut”, yang bermakna bahwa hukum syariat Islam dan adat istiadat tidak dapat dipisahkan.
Meski pada masa lalu adat Aceh sempat dipengaruhi budaya Hindu, tradisi seperti peusijuek kini sepenuhnya sejalan dengan nilai-nilai Islam dan tetap lestari sebagai warisan budaya takbenda yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Aceh.(Adv)








Komentar